SURAT BUAT FATMAWATI



SURAT BUAT FATMAWATI
       
 “Akhirnya kamu lulus juga.” Kata Ayah padaku. Wajahnya sumringah. Kutangkap itu sebagai sinyal atas rasa bangganya padaku, anak satu-satunya. Aku hanya terdiam. Ada rasa sedih juga karena harus meninggalkan pondok, namun ada juga senang karena aku akan menjadi siswa putih-abu-abu.

          “Iya, makasih Abi. Ngomong-ngomong, Fatma mau sekolah dimana lagi ya, bi?”. “Yah, kamu. Baru lulus tadi, langsung bicara SMA! Dipikir nanti sajalah!!” jawab Abi. Aku hanya mengangguk. Kulihat samar-samar tugu selamat jalan Kabupaten Ponorogo. Selamat tinggal, Jawa Timur....
ËËË
          Penat sekali rasanya, setelah menempuh perjalanan Ponorogo-Banjarnegara selama 11 jam. Rasanya aku ingin tiduuuur...saja. tapi kurasa itu tidak mungkin karena aku kedatangan tamu yang ingin menanyakan kabar sekaligus memberi selamat atas kelulusanku dari pondok. Lumayan, mereka juga memberiku makanan dan.. fulus alias uang!!
          Setelah mereka pergi, aku menyalakan televisi di kamarku. Semasa di pondok, aku jarang menonton televisi, maka aku jadi kurang suka menonton. Apalagi acaranya hanya itu-itu saja. Kumatikan televisi. Apa yang harus aku lakukan ya? Bagaimana kalau..silaturrahim? Ya! Ustadku di pondok selalu mengingatkan akan pentingnya menyambung tali silaturrahim dengan saudara atau tetangga. Tapi, silaturrahim ke rumah siapa? Tetanggaku kan, banyak?
          Sekarang, aku masih temangu-mangu di teras rumah, bingung, mana yang ingin kudatangi dulu? Tiba-tiba, kulihat seseorang berjalan terseok-seok dengan pakaian lusuh dan lecek. Langkahnya lamban, mungkin karena tubuhnya besar. Ia berbelok ke gang sempit di sebelah rumahku. Aku harus mengikutinya!
          Ia terus berjalan melewati pohon-pohon kalbi yang tinggi menjulang. Aku bergerak gesit. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Aku segera bersembunyi di balik pohon pisang. Sepertinya ia mulai curiga!
          Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, ia kembali berjalan. Aku keluar dari persembunyian dan mendapati bahwa ia menghilang! Cepat sekali! Bukankah jalannya lamban? Aku putus asa, lalu berbalik dan..
“Kamu siapa?” sebuah suara yang berat dan serak membuatku terjajar mundur ke belakang. Dia! Dia sudah berdiri di depanku. Aku tergagap-gagap. Ternyata ia seorang perempuan dengan wajah yang menyeramkan! Wajahnya legam dengan banyak carut marut luka. Rambutnya pendek, kusut dan merah karena terbakar.
“Kamu siapa?” Aku balik bertanya. Ia memandangiku lekat, membuatku semakin takut dan ingin kabur.
“Kamu...Fatma?” ujarnya sambil menunjukku. Aku terperangah. Ia tahu namaku! Tapi, siapa dia? Aku tidak pernah mengenalnya.
“Aku....Miski..ah..” Terbata-bata ia mengucapkan namanya. Aku melotot. Miskiah?
          Masih tergambar jelas di benakku sosok Miskiah. Ia adalah anak terakhir dari 4 bersaudara. Setahuku, ia tinggal bersama kakak-kakak, ibu, nenek dan ayahnya. Namun, ayahnya meninggal karena penyakit jantung. Sejak saat itu, kakak-kakaknya putus sekolah dan memutuskan untuk.. menikah dan bekerja serabutan. Miskiah sendiri pernah ikut ibunya bekerja di Jakarta, namun ia dipulangkan karena mencuri. Rumahnya tidak tetap, tapi menumpang di sebidang tanah milik tetanggaku.
          Dulu, sewaktu aku masih TK, aku sering sekali bermain bersama Miskiah. Bukan, bukan karena aku tidak punya teman, tapi Miskiah-lah yang tidak punya teman. Semesta mengolokinya gorila, orang gila, dan olokan-olokan lainnya. Maka, Miskiah dan keluarganya tersingkir secara alamiah dari pergaulan masyarakat. Miskiah sendiri tidak pernah sekolah sampai tamat. Yang kutahu, ia berkali-kali mengulang SD kelas 1 dan memutuskan untuk berhenti sekolah. Hidupnya sekarang liar dan berantakan.
“Fatma? Akhirnya kamu pulang... “ Miskiah terlihat senang. Aku tersenyum miris. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Miskiah dan keluarganya setelah aku pergi 9 tahun yang lalu. Miskiah sekarang berbeda dengan yang dulu, makanya aku tidak mengenalinya setelah 9 tahun tidak bertemu.
“Mis.. Main ke rumahku ya? Kamu pasti kangen rumahku!” tawarku. Miskiah menggeleng kuat.  “Makasih, tapi rumah kamu terlalu bersih buat dimasuki orang kayak aku.” Ia menunduk. “Nggak mis, aku pingin ngobrol-ngobrol banyak sama kamu! Aku masih inget, waktu dulu kita main tanah liat di sawah, waktu kita nyolong buah kakao.. Kamu masih inget nggak?” tanyaku. Ia tersenyum. Setelah kupaksa, akhirnya ia mau ke rumahku.
          Miskiah terlihat kaku berada di ruang tamuku. Berkali-kali ia melirik kakinya yang kotor dan berdebu. Aku memandanginya sesaat, benar-benar menyedihkan..
“Mis, kamu mau minum apa?” tanyaku. Ia menggeleng. “Tidak usah. Aku nggak haus.”
Aku masuk ke dapur dan membuat dua gelas sirup rasa frambose. Saat kuhidangkan di meja, Miskiah langsung melirik. “Mis, itu, minum aja! Kamu haus kan?”
Benar, Miskiah langsung meneguknya sekali sampai tandas.
“Mis, kamu sekarang ngapain?” tanyaku.
“Nggak ngapa-ngapain. Paling Cuma jalan jalan cari makan..”
“Makan? Kamu nggak kerja lagi?”
“Nggak, orang orang udah nggak percaya sama aku. Kalo kerja, paling Cuma disuruh nyapu jalan. Nanti dikasih uang goceng.”
“kamu cari makan dimana? Maaf ya, tapi kok kamu jadi..gemuk?”
“Hahaha! Cari makan itu gampang! Tinggal masuk kebun, ambil deh! Ya, mungkin aku jadi gemuk karena kebanyakan makan buah!  Minumnya minum tajin!” Ia terkekeh.
“Tajin itu apa?” tanyaku.
“Itu, kalo kita rebus beras, ada air sama busanya di permukaan. Nah, air itu buat gantinya susu!”. Aku miris. Miskiah kekurangan gizi, malah terlihat subur badannya.
“Mis, kamu sekolah lagi ya? Masuk SD lagi.. Program kejar paket A!” tawarku. Miskiah menggeleng lagi.
“Fat, kamu udah banyak bantu aku dari kecil. Kamu mau nemenin aku waktu aku diolok-olok,  kamu ngasih makan ke aku, ngasih baju lebaran.. Makasih Fat, tawarannya. Tapi, aku pingin lepas dari beban Ibu..Kasihan Ibu kerja buat aku.”
“Kamu tenang aja.. Nanti orang tuaku yang bayar!!”
“Aku udah punya rencana lain...”
“Rencana apa? Kerja lagi?”
“Bukan..Tapi..Menikah sama Mbah Narto..” ujarnya lugu. Aku terperangah. Menikah?
“Nikah? Ya Allah mis..Kamu masih muda.. Terus, kenapa harus mbah Narto?”
“Ya, Cuma itu satu-satunya cara biar nggak nambah beban ibuku, terus Cuma mbah Narto yang mau sama aku.”
“Mis..Jangan..Ohya, kamu bisa baca tulis nggak sih?”
“Nggak, nggak penting.”
“Besok kamu kesini lagi ya, aku ajarin baca tulis! Gratis!”
ËËËË
          Miskiah berusaha keras agar dapat memagang pensil dengan benar. Kuajari ia menulis hurf vokal dan cara membacanya. Lucu memang, mengajari anak berumur 15 tahun membaca dan menulis. Aku jadi belajar bersabar mengajari Miskiah, karena bagiku, ia kurang cakap dalam mencerna apa yang aku ajarkan. Miskiah sendiri kadang putus asa. Namun, setiap mengingat pentingnya pendidikan untuk anak sepertinya, aku terus menyemangatinya.
“Fat...Aku capek! Aku nggak bisa belajar lagi!!” di bantingnya pensil. Ia menunduk pasrah.
“Mis..Jangan begitu..Nggak ada di dunia ini yang bodoh..Semuanya pinter!! Ibumu pasti seneng kalo tahu kamu bisa membaca..bisa menulis..Kamu pingin lihat Ibumu seneng kan?”’
“Ïya.. Tapi bukan begini caranya..”
“Terus ngapain lagi? Menikah? Mis..Sekolah..Aku mohon.. Kamu nggak perlu mikir biaya! Cukup duduk,  mendengarkan guru bicara,belajar, ujian, dan lulus!”
“Apa aku bisa?” Miskiah terlihat ragu-ragu.
“Iya Mis! Kamu pasti bisa! Kamu nggak sendiri! Ada aku, ibumu, keluargamu, dan Allah, Tuhan kita! Semangat ya?”. Miskiah mengangguk. Akupun jadi semangat mengajarinya lagi.
“Mis, nama almarhum ayah kamu siapa?” tanyaku. Sudah 5 hari sejak kami belajar bersama.
“Pak Hartono.”
“Coba kamu tulis namanya!”
Perlahan, Miskiah menulis nama ayahnya. Ditunjukannya padaku. Benar. Lalu kuminta ia menuliskan semua nama anggota keluarganya. Ia terus berusaha, berpikir keras bagaimana menulis huruf D.
“Ini!” ia menyerahkan tulisannya padaku. Aku bangga. Miskiah sudah bisa membaca dan menulis!! Ini harus kutunjukkan pada ibunya.
          Miskiah pamit mau mencari makan di kebun. Baiklah, karena Miskiah tidak ada di rumah, maka aku bisa menunjukkan ini ke ibunya dan merayu agar Miskiah tidak menikah.  Saat aku tiba, ibunya sedang memberi makan ayam. Ïa terkejut melihatku.
“Bu, ini tulisan Miskiah...” ujarku sambil menunjukkan kertas Miskiah. Ia mengamati kertas itu. Wajahnya bingung. Apa mungkin ibunya juga tidak bisa membaca?
“Mba..Itu tulisan apa? Apa bener ini Miskiah yang nulis?” Ia terlihat tidak percaya.
“Ïni tulisan Miskiah bu.. Nah, ini nama Ibu.. Hapsari.. Ini nama Ayah.. Hartono..”
Bu Maryati mendekatkan wajahnya pada kertas itu. Matanya berkaca-kaca.  Mungkin ia tak menyangka anaknya bisa menulis.
“Bu..Miskiah bisa jadi seperti Fatma bu, lulus sekolah! Ibu jangan mikir soal biaya.. Miskiah tinggal ikut program kejar paket A SD..”Gampang kok, bu!” rayuku.
“Maaf mbak Fatma..Tapi saya pikir..Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya nganggur? Mumpung ada yang mau sama Miskiah..  Lebih baik nikah saja.. Nanti Miskiahnya seneng, saya juga lega karena Miskiah ada yang jaga, meskipun kakek-kakek...”
“Ibu jangan seperti itu..Kalo ibu begitu terus, nanti Miskiah tambah menolak untuk sekolah..Urusan kerja itu gampang bu! Semua sudah ada yang mengatur.. Ada Allah bu..”
“Ya..Terserah mbak Fatma saja..Saya percayakan dia sama mbak Fatma dan orang tua..”
“Tapi ibu janji, nggak membiarkan Miskiah menikah ya, bu?””
“Ïya mbak. Saya usahakan..”
          Aku dan Ayah sibuk mengurusi persyaratan kejar paket Miskiah. Kami mengajaknya untuk foto studio dengan memakai seragam SD. Ia sempat menolak karena malu untuk di foto. Setelah kuyakinkan kalau fotografernya wanita, ia baru mau. Aku juga sibuk mengajarinya berhitung. Untunglah, sebelumnya Miskiah sudah pandai dalam menambah dan mengurangi bilangan menggunakan alat bantu berupa korek api.
ËËËËË
          Hari ini, aku dan Ayah akan pergi ke Klaten untuk mendaftar sekolahku. Pagi-pagi, Miskiah datang ke rumahku. Kutunjukkan padanya medali kelulusanku dari pondok. Ia memandanginya dengan rasa kagum.
“Mis, ini namanya medali. Kamu bisa dapet ini, kalo kamu lulus sekolah! Nah, sekarang aku pergi dulu ya, mengurusi sekolahku dan sekolahmu.” Ujarku. Miskiah mengangguk.
“Ïya, hati-hati ya.”Ia tersenyum dan melambai pada mobilku yang mulai melaju meninggalkan gang rumahku.
Tunggu aku,Miskiah.....
          SMA IT tempatku mendaftar masih sepi, karena pendaftaran baru dibuka pukul 2 dan aku tiba pukul 11. Petugas pendaftaran memintaku untuk segera melakukan seleksi. Alhamdulillah, aku lulus seleksi! Aku telah mendapatkan SMA untukku sekolah nanti. Sekarang, tinggal mengurusi kejar paket A untuk Miskiah di Banjarnegara. Semua persyaratan sudah lengkap, tinggal tes membaca, menulis dan berhitung. Esoknya, kami pulang. Aku senang, karena Miskiah bisa menjadi seperti anak-anak lainnya.
          Kudatangi rumah Miskiah di dekat kebun belakang rumahku. Kudapati neneknya, mbah Warni sedang mengais-ngais gabah di teras rumahnya.
“Mbah..Miskiahnya ada?”tanyaku. ia menoleh padaku.
“Kamu..Fatma? Yang mau ngajak Mis sekolah?”
“Iya mbah.. Miskiahnya mana?”. Mbah Warni diam dan memalingkan mukanya dariku, pertanda ia tak sudi menjawabku lagi. Aku pulang dengan banyak tanda tanya. Kemana Miskiah? Mengapa rumahnya begitu sepi?
          Aku duduk di kasurku dan menemukan secarik kertas. Sebuah kertas usang.
Fatma, makasih atas pelajaran nulis baca dan hitungnya. Makasih udah mau susah susah cari sekolah buat aku. Tapi tekadku udah bulat, aku harus menikah meskipun sama mbah Narto. Ibuku terlanjur janji ke mbah narto kalo aku bakal nikah sama mbah narto. Maafkan aku ya fat?
Mungkin waktu kamu baca surat ini, aku udah pergi sama mbah narto ke kediri. Jangan sedih. Kamu boleh marah. Dan biar kamu nggak marah,aku kasih senyum di sini. J
Kamu itu malaikat. Malaikat keduaku setelah ibu. Aku sayang kamu. Maafin aku meninggalkanmu di sini. Semoga sekolahmu lancar,
Miskiah Nurbayanti.
          Aku terhempas ke kasur. Air mataku mengalir perlahan, mengikuti lekuk pipiku, lalu jatuh. Hatiku miris. Rasanya kecewa tidak bisa membantu temanku mencapai pendidikan. Rasanya hampa mengingatnya telah di bawa pergi jauh ke Kediri. Hampa, sehampa diriku yang kehilangan Miskiah......

Andrea H


         
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

2 comments: